Thursday, October 05, 2006

"Beras dari Langit"

Allah mengiriminya "orang tak dikenal dari langit" dengan membawakan berkarung-karung beras.Demikianlah satu balasan yang diberikan Allah sebagaimana janjinya kepada para pejuang agama Nya

Perempuan itu terlihat khusyuk di atas sajadahnya. Wajahnya bening, bersahaja memancarkan sinar kemuliaan dari hati yang qona‘ah. Jari tangannya masih bergerak-gerak mengiringi rentak tasbihnya, puji cinta yang tak pernah bosan ia lantunkan untuk sang kekasih yang Maha Pengasih.

"Hhhhh...Ukh.....ukh....."

Anak lelaki usia 10 tahunan yang terbaring lemah di atas kasur di sampingnya menggeliat. Dia mengigau lagi. Panas tubuhnya belum turun dari tadi malam. Perempuan itu menghentikan zikirnya. Diperhatikannya lalu dengan penuh kasih diusapnya dahi anak itu.

"Alhamdulillah ... panasnya sudah turun"

"Salman, minum dulu, nak!" Katanya sambil menyodorkan segelas teh.

Perempuan itu kemudian bangun dari duduknya. Melipat sejadah dan muqananya, lalu beranjak ke dapur.

Salman hanyalah satu dari puluhan santri yang mondok di rumahnya. Mereka kebanyakan anak-anak usia sekolah dasar, sebagian yatim atau piatu. Di pondok itu mereka diasuh dan dibesarkan, dididik dan diajari shalat, akhlak, mengaji dan menghafal Al-Qur'an. Mereka juga disekolahkan di SD, SMP ataupun MTSN setempat. Santri-santri itu memang diperlakukan layaknya anak kandung sendiri, sehingga bila ada di antara mereka yang sakit, ia sendiri yang akan merawat dan menjaganya sampai sembuh.

"Ummi ..."

"Ada apa Da?"

"Hmm... ini Ummi, Ida cuma mau memberitahu. Beras persiapan kita sudah hampir habis." Ida juga seorang santriwati yang rajin membantunya di dapur.

"Hmm..., baiklah. Oh ya, sepertinya di luar ada tamu ya, Da? Sudah dibuatkan minum?"

"Sudah, Ummi".

Ia bergegas ke ruang tamu. Di beranda, suaminya tengah beramah-tamah dengan beberapa guru. Ia berhenti di balik pintu, mencoba mencermati percakapan mereka.

"Ustadz, kami rasa, sistem yang lama sudah tidak bisa diteruskan lagi. Jumlah santri semakin bertambah, sementara sarana yang kita miliki tidak memadai," ujar salah seorang guru kepada Pimpinan Pondok.

"Betul, Ustadz, kita harus memungut bayaran dari santri. Minimal untuk menutupi biaya makan mereka. Kami dengar bahkan beras pun sering kali hampir habis. Bagaimana kalau untuk makan saja tidak cukup?" kata yang lain menambahi.

"Tapi kalian belum pernah betul-betul kelaparan bukan?" jawab beliau, kalem dan bijaksana.

"Begini, Ustadz ... Maksud kami, biar dana yang biasanya untuk makan santri itu dialihkan untuk dana lain."

"Iya, asrama santri perlu ditambah. Bangunan yang ada tidak layak lagi untuk menampung para santri yang jumlahnya bertambah terus. Begitu juga ruang belajar dan sarana kebersihan seperti kamar mandi, toilet, dan lain sebagainya."

Hening sejenak. Kemudian terdengar helaan nafas yang berat dari lelaki bijaksana itu.

"Kami akan menyiapkan proposal permohonan bantuan dana ke seorang kaya yang kami dengar sering membantu pesantren, kalau kalian setuju," ujar salah seorang dari mereka setengah mendesak namun hati-hati, khawatir akan menyinggung perasaan Pak Ustadz.

Sunyi lagi. Pak Ustadz tetap terdiam. Beliau hanya sesekali menghela nafas sambil melempar pandangan ke luar. Tetapi kemudian,

"Baiklah, Ustadz, kami pamit dulu," kata rombongan guru itu.

"Assalamu 'alaykum!"

"Wa'alaykumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab Pak Ustadz.

Beberapa saat sesudah mereka pergi, perempuan yang tadi berdiri di balik pintu dan menyimak pembicaraan itu keluar, lalu duduk di sebelah suaminya.

"Saya mengikuti dialog tadi," katanya memecah keheningan.

"Dan sudah tahu, bukan, apa jawaban saya. Sampai kapan pun, akan tetap sama," jawab suaminya. Sejak didirikan pada tahun 1975, pesantren itu memang tidak memungut iuran sama sekali walau satu sen pun dari para santri, wali ataupun orangtua mereka. Semuanya gratis, dari mulai makan hingga biaya sekolah.

"Beras di dapur sudah hampir habis. Hanya cukup untuk hari ini saja," kata perempuan itu kepada suaminya. Suaranya tetap datar, hanya bermaksud memberitahu. Suaminya hanya terdiam. Tak sepatah kata pun diucapkannya. Janji yang ia ikrarkan kepada Sang Khalik tidak akan berubah, karena ia sangat yakin Allah tidak pernah menyalahi janjiNya: in tanshuru-llaha yanshurkum. Orang yang berjuang menegakkan agama Allah pasti akan ditolong, dijamin dan dimenangkan olehNya.

Pak Ustadz belum beranjak dari duduknya. Hanya kelihatan bergumam sambil menggerak-gerakan jari-jemarinya, larut dalam zikir dan doa. Tidak lama kemudian terdengar suara riuh rendah. Nampaknya santri-santri telah selesai melakukan olah raga, jalan keliling kampung. Sudah menjadi acara khusus di hari Minggu pagi bagi pesantren tersebut. Perempuan itu melongok ke ruang dalam, melihat jam dinding, sudah jam 10. Bergegas dia masuk, menuju dapur. Hanya ada Ida dan Yati di sana, dia harus membantunya menyiapkan makan siang.


***


Selesai sholat zuhur, lingkungan pesantren kembali sepi. Sebagian besar santri sedang beristirahat di pondokan masing-masing. Tiba-tiba sebuah truk berhenti di depan pesantren. Sopir dan seorang lagi temannya menurunkan karung-karung beras dari truk itu. Salah seorang dari mereka melambaikan tangan ke arah santri yang sedang duduk-duduk di kursi kayu di depan salah satu pondokan tidak jauh dari pintu gerbang. Bergegas santri itu mendekati orang tersebut.

“Panggil temanmu. Angkat karung-karung ini ke dapur”, kata orang tadi. Selesai menurunkan semua karung-karung, tanpa berkata apa-apa lagi, kedua orang itu pun langsung pergi. Belum sempat santri itu bertanya, truk sudah bergerak meninggalkan kepulan asap dan debu. Santri itu hanya melongo sesaat, setelah itu segera berlari memanggil kawannya.

“Ilham, orang yang mengantar beras ini sudah dipersilahkan masuk? Biar Ummi panggil Ustadz sebentar, ya!”

“Orangnya sudah pergi Ummi,” agak ngos-ngosan anak yang dipanggil Ilham itu menjawab.

“Lho..., dia bilang atau tidak, dari mana beras-beras ini?” tanya Ummi keheranan.

“Ilham belum sempat tanya Ummi. Orangnya sudah keburu pergi. Dia hanya menyuruh saya mengangkat karung-karung ini ke dapur”.

“Ya sudahlah ...”.

Ketika disampaikan perihal kedatangan orang-orang tak dikenal itu, suaminya menjawab singkat: “Oh, itu beras dari langit.”

Demikianlah satu dari sekian banyak pengalaman yang ia lalui selama mendampingi suaminya membina pesantren yang kini kelihatan sudah berkembang dengan pesat dan mulai dikenal luas di seantero nusantara.

Siapakah orangnya yang (mahu) memberikan pinjaman kepada Allah sebagai pinjaman yang baik (yang ikhlas) supaya Allah melipatgandakan balasannya dengan berganda-ganda banyaknya? Dan (ingatlah), Allah jualah Yang menyempit dan Yang meluaskan (pemberian rezeki) dan kepadaNyalah kamu semua dikembalikan. (QS.2:245)

"Orang-orang mukmin itu hanyalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan berjihad dengan harta dan jiwa di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar." (Q.S. Al Hujurat :10). [Andi Sri Suriati Amal, Frankfurt, 29 April 2006]

diambil dari : www.hidayatullah.com

No comments: